Sebelas Kesteriliun Kita
“Ambillah dia jika engkau
menginginkannya, Tuhan. Simpan dia disurga bersama bidadari-bidadarimu. Beri
dia tempat yang nyaman untuk dapat melihat aktivitasku diduniamu. Biarkan dia
duduk manis disampingmu. Jangan pernah halangi dia untuk tersenyum disana. Dan
satu lagi, jangan pernah melarangku untuk mengubur kenangan kita meskipun
kekasihku telah kau takdirkan untuk dikuburkan.”
Hari
ini cuaca diluar sangat mendukung untukku bertemankan dengan kasur, berpelukan
dengan guling. Didalam kamar aku hanya berbaring dengan malas untuk
beraktivitas. Gemercik mungil hujan diluar sana mengembang indah didalam
telingaku. Sekilas mataku memandang vigura foto yang terpajang besar didinding
kamarku. Foto yang sangat indah, manis, kebahagaiaan sangat terlihat diwajah
kita dulu. Yah, fotoku bersama kekasihku. Henderobbi Deril Dwi Saputra. Lelaki
tampan milikku, lelaki bertubuh jenjang sangkuk dengan dibalut kulit hitam manisnya
ditambah lagi rambut keriting hitamnya itu. Jika aku jelaskan wajahnya,
terdapat dua kelopak mata yang bulat ditemani dengan bulu mata lentik barbienya
dan alis mata hitam tebal yang bikin menggemaskan itu. Hidung mancung
mungilnya, mulut jedir seksinya, ohya dan satu lagi yang sangat kusukai. Kumis
tipisnya, nah itu yang membuat wajahnya menjadi lebih sempurna.
Dia sangat lucu. Apalagi jika aku
ingat dimana dia harus bersusah payah berjuang demi mendapatkan berrygood
camilan isi blueberry itu. Terkadang jika persediaan berrygood dikamarnya telah
habis dan toko sebelah rumahnya tutup dia harus ke Supermarket yang jaraknya
cukup jauh dari rumahnya. Dia harus berjalan ditengah terik matahari dan sampai
disana stock berrygood hanya tinggal 4 dan 2 diambil pelanggan yang datang
terlebih dahulu. Bahkan dia juga bercerita dia sempat bertengkar dan membayar
dua kali lipat untuk mendapatakan 2 berrygood saja.
“Itu
hanya camilan Der.” Komentarku dengan berselip tawa saat dia usai bercerita
“Itu
nyawaku Ve. Tanpa dia aku bisa mati.” Jelasnya yang sedikit membuatku ingin
tertawa
“Berrygood
saja? Akunya enggak?” tanyaku
“Tanpa
berrygood aku bisa mati dan bisa kembali karena stock berrygood masih banyak didunia
ini, tetapi kalau tanpa kamu aku bisa mati dan gamungkin bisa kembali.”
Jawabnya
“Kok
bisa gitu?” Tanyaku sambil memutar bola mataku.
“Nama
Vea didunia ini mungkin buanyak, mungkin wajah yang mirip sama kamu juga
banyak, tapi didunia ini nggak ada wanita seperti kamu, dan didunia ini hanya
kamu yang aku sayang dan aku cinta. Bukan Vea yang lain.” Jawabnya waktu itu.
Ah Deril,
aku teringat padamu lagi. Entah aku tak tau penyakit apa ini, Der. Aku
kecanduan bagaikan para pengkonsumsi narkoba itu. Aku terlalu fasih jika orang
menyuruhku menjelaskan tentangmu, maafkan aku. Aku tak sengaja. Kamu terlalu
berarti, kamu indah untuk dijelaskan. Sampai aku lupa memperkenalkan namaku
sendiri.
Perkenalkan
namaku Chintyaris Oktavea Dyah Junita. Semua orang yang mengenaliku memanggilku
Vea. Tidak afdol jika aku hanya memperkenalkan namaku saja. Aku berusia 18
tahun Oktober besok, aku bersekolah disalah satu SMA swasta di Surabaya,
berbeda dengan Deril yang bersekolah di salah satu sekolah negeri di Surabaya.
Dan satu lagi, perkenalkan aku adalah kekasihnya Deril sampai kapanpun.
Meskipun kita berbeda. Berbeda tempat, Deril di surga dan aku masih menjalani
hidup didunia.
Deril, boleh
aku bercerita? Aku hanya ingin menuliskan sesuatu disini tentangmu. Bukan
bermaksud apa-apa, aku hanya ingin. Tak lebih, aku berjanji J
***
Dari
sini, dari kamar bercat hijau tosca ku aku bercerita.
Ohya
selamat tanggal 11 yang ke 40 Deril. Sayang kamu meniup lilin disurga bersama
malaikat-malaikat yang baik itu dan aku disini sendiri, eh bukan sendiri aku
bersama fotomu. Tapi sayang dia tidak bisa meniup lilin, mencium keningku, dan
berkata “selamat tanggal 11 yang ke 40 Vea sayang” sepertimu biasanya. Deril,
aku belum terbiasa untuk merayakan ini sendiri. Sekali-sekali kamu bisa meminta
izin kepada Tuhan untuk datang kekamarku setiap tanggal 11?
Empat bulan lalu kita hampir bisa
merayakan tanggal 11 yang ke 36 kita. Tapi kenapa yang ke 37, 38, 39, 40 dan
kedepannya Tuhan tidak mengijinkan kamu menemaniku meniup lilin ini? Tuhan,
bisa kau kembalikan Deril untukku? Seharusnya jangan kau ambil dia dengan
kecelakaan motor itu sendiri. Mengapa tidak kau ambil saat dia mengendarai
bersamaku? Agar aku tak kesepian disini seperti ini, agar aku dapat menemani
Deril di surga, dan agar bukan bidadari-bidadari surga yang menemani Deril.
Jujur, aku cemburu.
“Ve,
tadi udah makan?” tanyanya lewat telefon
“Udah
dong, kamu sendiri udah?” tanyaku balik
“Ini
lagi makan berrygood hahaha.” Jawabnya saat itu sambil tertawa yang berujungkan
dia tersedak
“Hahahaha
kamu kesedak Der?” tanyaku sambil tertawa
“Ini
cewek ya, pacarnya lagi kayak gini malah diketawain. Buruan kesini kek bawain
air putih.”
“Mau
naik apa?”
“Aku
jemput deh, ntar bawain aku air putih. Tros kita kerumahku, aku minum air
putihnya sampai habis dan aku anter kamu pulang lagi. Gimana?” jawabnya dengan
konyol.
Yah,
itulah Deril. Dia selalu bisa membuatku nyaman jika bersamanya. Dia selalu bisa
mengubah semuanya menjadi indah, dia sangat mahir untuk hal itu. Dia bisa
menyihir semua keadaan kembali menjadi hangat. Aku tak tau apakah masih ada lelaki
seperti dia didunia ini. Aku juga tak tau apakah aku bisa untuk tetap disini
sendiri tanpa Deril mendampingi langkahku, menemaniku membuat cerita panjang
untuk aku ceritakan kepada turunanku kelak.
Seketika
Agnes berhenti untu k bernyanyi, lagunya terhenti dan aku putar kembali. Aku
kembali pada lamunan dan ingatanku. Aku teringat dimana Deril mengungkapkan
perasaannya padaku, di tanggal 11 April tiga tahun lalu.
Di
pagi hari itu, seperti biasa jika hari libur aku tak pernah berniatan untuk
bangun lebih pagi. Aku membuka ponselku, tak ada balasan pesan yang kukirim
sejak malam tadi dari Deril, dia juga tak mengucapkan selamat pagi yang
biasanya terselip dalam ponselku. Aneh, tapi aku hanya berfikir dia sedang
disibukkan dengan tugasnya saja. Aku membuka akun twitterku pagi itu. Dan aku langsung
terkejut disaat buanyak mention orang-orang yang tak ku kenal dan sebagian
kukenal bertempelan dimention akunku.
“Halo Vea. Deril sayang sama
kamu, Deril cinta sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarnya? @...”
Banyak,
aku tak menghitungnya. Banyak yang berkerubung didalam mentionku untuk
mengirimkan mention-mention mungil orang-orang itu. Aku masih tersenyum bahagia
dan sedikit bingung saat itu dengan memandang laptop mungilku. Aku tak tau apakah
Deril yang mempersiapkan semua itu atau hanya….ah aku tak tau pasti. Aku
langsung mengambil ponselku yang masih tergeletak didalam kasurku dan mengetik
suatu pesan yang akan kukirimkan untuk Deril. Belum sempat aku mengirimnya,
tanda panggilan masuk memenuhi layar ponselku. Deril. Aku mengangkatnya.
“Deril,
apa maksutnya sih? Ini kamu yang…”
“Iya,
orang-orang itu yang tak suruh buat mention kamu, aku yang nyiapin buat kamu.
Bisa buka jendela kamarmu dan liat kebawah Ve?” ucap Deril yang sempat memotong
pembicaraanku.
Kubuka jendela
kamar, dan aku melihat ada satu orang didalam halaman rumahku. Reza, teman
dekat Deril.
“Za,
ngapain disitu? Deril mana?” tanyaku. Reza hanya terdiam. Dan tiba-tiba dia
berteriak.
“VEA,
DERIL SAYANG BANGET NIH SAMA KAMU. MAU NGGAK JADI PACARNYA.”
Dan
tiba-tiba ada seseorang laki-laki bertubuh jenjang mirip Deril muncul, dan dia
berkata,
“Ve, kenalin
aku kakaknya Deril. Deril sayang banget sama kamu. Kamu mau nggak jadi
pacarnya?”
Dan
sebelum aku ingin menjawab ada lagi satu orang tak kukenal, berbicara sama.
Dilanjutkan dengan laki-laki berbicara dan perempuan juga berbicara sama.
Sampai halaman rumahku penuh dengan orang yang kukenal hingga tak kukenal.
Bahkan tukang becak, pedagang sayur, pedagang siomay pun juga ada. Aku tak tau,
aku hanya tersenyum bingung disitu, karena Deril tak ada. Dari dia menyiapkan
pengungkapannya ditwitter sampai diteras halaman pun aku tak melihat batang
hidung Deril.
“Za, ini
perwakilan? Deril gaberani ngomong sendiri?” tanyaku sambil celingukan. Reza
hanya tersenyum simpul padaku.
“Kak,
Derilnya mana?” tanyaku lagi kepada kakak Deril.
“Sabar
dong Ve.” Jawabnya sambil tertawa.
Kedua
alisku kukerutkan, sengaja kupertemukan mereka agar ekspresi penasaran keluar
dalam raut wajahku. Tiba-tiba aku melihat laki-laki yang sedari tadi aku
tunggu, Deril. Tiba-tiba orang yang berkerumun itu membelah sebuah gang
ditengah-tengah untuk Deril berjalan. Deril berhenti, dia melihatku. Akupun
tersenyum.
“Nungguin
aku ya daritadi?” tanyanya
Aku
hanya tersenyum melihatnya.
“Ve, aku
nggak bakal teriak-teriak kayak Reza. Aku biasa aja yah? Lagi batuk nih hehe.”
Dia berhenti untuk berbicara. Lalu, ada seseorang yang memberi bunga pada
Deril.
“Makasih
mas bunganya.” Ucap Deril pada laki-laki yang aku sendiri tak tau siapa.
“Vea,
aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, aku nggak tau kalau aku deket sama
kamu aku bisa nyaman, aku bisa seneng, aku bisa ngerasain sedih. Sejak deket
sama kamu juga aku ngerasa aku udah nggak nakal lagi kayak dulu. Aku nggak tau
juga kenapa aku bisa senurut ini sama kamu pas kamu nyuruh aku buat berubah.”
Jelasnya.
“Iya
beneran Ve, aku saksinya. Deril udah nggak pernah bolos, PR juga dianya selalu
ngerjain, udah nggak pernah godain cewek lain. Pokonya udah nutup mata nutup
hati buat kamu Ve, serius.” Kata Reza
“Aku juga
saksinya Ve. Deril juga jarang bentakin pembantu rumah, jarang nyuruh-nyuruh
orang rumah. Bahkan dia uda mau nyuci piring, bangun tanpa dibangunin.” Jelas
kakaknya.
“Iya
mbak Vea. Mas Deril juga nggak pernah ngutang pas beli siomay saya, utangnya
udah dilunasin, malah kelebihan.”
“Dia
juga nggak pernah ngejailin saya pas saya duduk dibecak buat nungguin penumpang
mbak Ve.”
“Mereka
ini, semua orang yang ada disini dulu pernah aku buat kesel. Sebelum kenal
kamu, dan semoga mereka bisa bahagia seperti aku bahagia sejak kenal kamu.”
Ucap Deril dengan tersenyum malu.
“Ve,
kamu. Cuma kamu yang rasanya dihati itu beda, ngerasa pas banget. Aku beneran,
nggak gombal. Kamu mau jadi pacarku?” Tanya Deril sambil meletakkan bunga
didepan dadanya dengan kedua tangannya.
“Bentar
Der.” Aku membalikkan pandangan dan badanku dari jendela, aku berlari kecil
untuk menghampiri Deril.
“Ve,
kamu mau kan? Maaf ya tadi banyak banget yang mention kamu ditwitter. Aku yang
nyuruh mereka. Kamu tau berapa orang? 1149.” Jelasnya
“Eh gila,
banyak banget?” jawabku terkejut.
“Hehe,
sekarang kan tanggal 11 bulan April tahun 2009, makanya aku ngumpulin segitu.
Ini juga emang aku sengajain orang-orang buat ngungkapin juga. Mereka semua tau
sapa kamu sebelum mereka bertemu kamu Ve. Kamu orang yang bisa ngerubah aku,
kamu orang yang bisa ngebuat aku ngelakuin semua ini. Aku sayang kamu Ve, aku
cinta sama kamu, kamu mau nggak jadi pacarku?” tanyanya sambil memegang kedua
tanganku.
“Ini
mimpi?” tanyaku saat itu.
“Bukan,
mimpi lebih indah dari ini.” Jawabnya.
“Kalo
aku mau kamu bakal apa?” Tanyaku.
“Aku
bakal selalu usaha ngasih kamu kejutan lebih dari ini, supaya hidupmu lebih
berwarna lagi karna aku, supaya kamu bahagia, supaya hidupmu berwarna karena
tercampur tangan olehku dan bukan orang lain. Aku bakal nyoba dan nyoba terus
saat masalah rumit menghampiri kita. Aku bakal selalu usaha buat jadi yang
terbaik buat kamu, kapanpun dan dimanapun itu aku bakal berusaha untuk selalu
menjadi orang pertama yang ada disampingmu. Bukan orang lain.” Jelasnya.
“Caranya
gimana?” Tanyaku lagi.
“Ya
dengan cara kamu aku jadi kita. Kamu sama aku bersama. Kamu sama aku selamanya
Ve.”
Aku
hanya tersenyum.
“Mau?”
“Dengan
jaminanmu yang seindah itu, tidak adalah kata bodoh jika aku ucapkan saat ini.”
Jawabku.
“Jadi
kamu mau?” Tanyanya yang membuatku menganggukkan kepala.
Deril
menoleh kebelakang dan menyambut semuanya.
“Kak,
aku diterima. Zaa. Bang, semuanya makasih buat bantuannya.” Ucapnya agak keras.
Semuanya bersorak dihalaman rumahku. Aku hanya tersenyum, hatiku berbunga-bunga.
Tentunya aku bahagia saat itu. Sangat bahagia.
Deril,
kamu masih ingat semua ini? Disaat awal hanya aku dan kamu saja menjadi kita.
Awal dimana semua jaminanmu menjadi nyata. Tetapi awal selamanya hanya kiasan
belaka. Kiasan? Iya kiasan, karena aku tak bisa meggenggam erat tanganmu lagi,
karena tak ada yang memelukku lagi, karena semuanya hanya karena kamu dan aku
tetap menjadi kita tetapi bukan dengan alam kita, karena semuanya hanya karena
kamu telah berinjak di Surga dan aku di dunia fana. Tetapi karena aku
mencintaimu dan kamu mencintaiku, kita tetap berjalan bersama, kamu tetap
menemaniku melangkah dengan langkah jenjangku, sebab karena jaminan manis
indamu.
***
Pagi itu
seperti biasa Deril menjemputku dirumah untuk mengantarkanku kesekolah. Pagi
itu ada yang berbeda dari raut wajah Deril, wajahnya 100x lipat bertambah
tampan. Seperti malaikat surga sih. Seperti biasa, disaat aku ingin mengucapkan
kepadanya, dia membungkan bibirku dengan jari telunjuk manisnya.
“Ssssst.
Selamat tanggal 11 yang ke 36 Vea sayang. Tanggal 11 nya selalu ada dikalender
kita, dan selalu ada dalam perjalanan cinta kita. Seperti biasa, boleh aku
meminta izin untuk mencintaimu dan mendalami cintamu lebih dari 3 tahun kita
bersama? Jangan bilang tidak, karena memperbanyak cintamu adalah kekuatanku
untuk hidup. Hidup untukmu, untuk cinta kita.” Ucapnya yang membuat sayap-sayap
cantikku ini keluar dan siap untuk terbang karena terbuai oleh kata-katanya
saat itu. Dia memelukku, hangat. Entah pelukannya pada pagi ini sangat berbeda,
sangat nyaman. Melebihi nyaman yang senyaman-nyamannya pada biasanya.
“Ini
mawar cantik berjumlah 36 untukmu, aku telah menepati janjiku kan? Sekarang
tinggal aku menepati janjiku untuk tetap disampingmu sampai tanggal 11 yang
keseteriliun.” Katanya sambil mencium keningku.
“Terimakasih,
aku tak bisa berkata apa-apa Der.” Seperti biasa jawabanku hanya seperti ini
“Aku
tau, aku mengerti kamu tidak mahir untuk mengatakan betapa sayangnya dan betapa
cintanya kamu padaku. Tapi kamu mahir untuk membuatku merasakan akan hal itu.
Sekarang bukankah kamu senang? Hingga kamu tidak bisa bekata apa-apa.”
Aku
hanya bisa tersenyum, ya tersenyum jika aku harus mendengar ucapan indah yang
keluar dari Deril 36 bulan ini. Aku tak tau mengapa aku selalu begini.
“Eh iya,
kuenya mana?” Tanyaku
“Astaga
aku lupa.” Jawabnya dengan menampar jidatnya.
“Yaah,
kok lupa sih?”
“Maaf,
aku beneran lupa. Ntar malem ajaya? Sekali-sekali kita niup lilinnya malem,
cari suasana yang beda gitu. Jangan marah sayaang.” Rayunya sambil mencubit
hidungku.
“Ah
Deril, iyadeh.” Jawabku dan langsung naik kemotornya.
Siang
itu Deril menjemputku lebih cepat, dia mengajakku untuk foto disalah satu
studio di Surabaya. Aku ingat Deril sempat bilang.
“Ve,
foto ya? Buat kenangan tanggal 11 kita yang ke 36.” Pintanya
“Yah
Deril, aku males foto. Buat apaan sih?” jawabku
“Buat
kenangan, jadi kalo seumpama tanggal 11 kita yang ke 37 ato yang seterusnya
kalo aku gabisa nemenein niup lilin kan kamu bisa ditemenin sama foto kita.”
Jawabnya
“Kamu
mau aku ngerayain sama fotomu aja? Jangan konyol, foto mana bisa niup lilin
sih?” ucapku kesal pada siang itu.
“Udah
deh, buat jaga-jaga aja. Kita juga punya foto bareng dikit kan?” yakinnya.
“Ah
iyadeh.” Aku terpaksa menyetujuinya.
Siang itu
kita hanya kestudio untuk foto, seusai itu Deril mengantarku pulang.
“Deril
nggak masuk dulu?” tanyaku seperti biasanya.
“Dirumah
sepi?” tanyanya balik.
“Iya”
“Nggak
deh aku pulang langsung aja ya sayang? Kamu jangan lupa makan. Liatin foto kita
yang barusan deh, aku cakep kan? Vea juga cantik. Pajang dikamar ya? Ntar
bagianku juga bakalan tak pajang kok.” Cerocosnya tibatiba.
“Iyadeh,
Deril atiati ya. Jangan lupa janjinya.” Ingatku.
“Iyaaa,
dada Vea sayang.” Pamitnya sambil mengecup keningku.
***
Deril, aku telah bercerita jauh.
Boleh aku lanjutkan?
Malam
itu, tepat pukul 10 malam aku masih menunggu Deril didalam kamarku. Aku telah
mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi tiada respon. Aku telah mencoba
menelfon rumahnya, kata mamanya saat itu Deril telah berangkat dari habis
maghrib lalu. Aku mulai panik saat itu. Aku mencoba menelfon semua temannya,
mencoba menghubungi untuk mencari informasi dimana Deril berada. Karena
mengingkari janji adalah bukan sifat Deril.
Tepat
pukul 11 malam disaat aku telah sibuk diri mencari kabar Deril. Tiba-tiba
jendela kamarku serasa ada seseorang yang melempari batu beberapa kali.
“sialan” gumamku. Beberapa detik terdengar lagi, aku merasa kesal dan aku
langsung keluar membuka jendela kamarku.
“Halooooo
selamat malam Chintyaris Oktavea Dyah Junita. Selamat tanggal 11 yang ke 36.
Aku sayang kamu, aku cinta kamu. Dulu, kemarin, sekarang, besok, lusa, seminggu
kedepan, dan seterusnya sampai kapanpun itu aku tetep bakalan sayang cinta sama
kamu. Kamu bidadariku. Kamu wanita pemegang hatiku. Kamu dan kamu segalanya Vea
sayang. Jangan nangis dulu. Tahan, aku masih mempunyai kejutan lagi.” Teriaknya
malam itu. Aku masih mengingat jelas kata-katanya pada malam itu, karna aku
sering memutar video yang sengaja dibuatnya itu. Bukan hanya pada malam yg
kesebelas saja, setiap aku ingin menatap wajahnya aku selalu memutar video itu.
“Vea
sayang, turun dong. Temenin Deril nyanyi dibawah sini. Deril uda nyiapin suara
merdu Deril kok, cuma buat Vea.” Katanya sambil membawa gitar. Aku langsung
berlari turun kebawah.
“Ve,
sapa malem-malem gini teriak-teriak?” tanya mbak saat itu.
“Deril
mbak” jawabku sambil berlari.
“Deril
makasiiiiiiih. Buruan nyanyinya.” Pintaku.
“Iya,
Vea duduk disitu aja ya. Liatin Deril, dengerin suara Deril.”
Seketika
Deril memetik gitarnya, kemudian memulai menyanyikan lagu Naff yang Akhirnya Ku
Menemukanmu.
Akhirnya ku menemukanmu, saat
hati ini mulai meragu
Akhirnya ku menemukanmu, saat
raga ini mulai berlabuh
Ku berharap engkaulah. Jawaban
segala risau hatiku
Dan biarkan diriku mencintaimu
hingga ujung usiaku
Jika nanti kusanding dirimu
Miliki aku dengan segala
kelemahanku
Dan bila nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk
mencintaiku
Akhirnya ku menemukanmu, saat
hati ini mulai meragu
Akhirnya ku menemukanmu, saat
raga ini mulai berlabuh
“Aaaaaa
Deriil suaranya baguuuus. Lagunyaaaa” teriakku sambil berlari kecil lalu
memeluk Deril
“Vea
sayang sama Deril, Vea cinta sama Deril. Vea gamau kalo gasama Deril. Makasih
buat malam ke11 yang ke 36 ini. Deriiiil jangan tinggalin Vea yaaa. Vea sayang
banget sama Deril.” Ungakapku sambil menangis terharu.
“Deril
sayang Vea lebih. Lebih dari air yang ada dibumi ini, manusia yang ada dibumi
ini. Sayang Deril ke Vea gada batesnya. Cinta Deril ke Vea sama jurang masih
dalem cintanya Deril. Gabisa diungkapin. Vea, cuma Vea. Cewek manapun gada yang
kayak Vea.” Ungkapnya sambil mengusap airmataku.
“Janji
gabakal ninggalin Vea.”
“Deril
gabisa janji.” Jawabnya yang membuat hatiku terengah
“Kok
gitu?”
“Ve, aku
manusia. Ada saatnya Tuhan manggil aku. Ada saatnya dimana Tuhan nakdirin aku
gabisa lagi nemenin Vea. Vea bisa kuat dong tanpa Deril? Kan Vea bidadari.”
“Aku
gabakal jadi bidadari kalo disebelahku gada kamu.”
“Tapi
aku tetep jadi malaikat walaupun aku uda gadisamping Vea lagi. Aku bakalan jadi
malaikat yang jaga kamu.”
“Deril
mau mati ngomong ginian?”
“Deril
ngerasa aja.” Jawabnya yang membuatku menganga.
“Hahahaha
engga engga Deril meninggalnya masih nanti. Pas uda buat Vea seneng.” Jawabnya
sambil mencubit hidungku.
“Udah ah
udah malem. Vea udah seneng kan malem ini?”
“Seneng
banget Deriiiil.”
“Haha
yaudah, Deril pulang boleh? Dirumah udah ada mbak kan?”
“Yaah
pulang. Iya ada embak, tapi dia uda tidur.”
“Yaudah
salam buat mbak ya. Kalo mama sama papamu uda pulang salamin juga, Bilangin
Deril sayang mereka. Ohya lupa.” Pintanya sambil berjalan menuju handicamp yang
dipasangnya daritadi.
“Ini Vea
bawa aja. Kado dari Deril. Jaga baik-baik ya. Deril pulang dulu.”
“Deril
tunggu.” teriakku pelan.
“Iya
Ve?” jawabnya.
“Pulang
lewat kiri apa kanan?” tanyaku.
“Kiri.”
Jawabnya.
“Vea
bareng boleh? Lewat supermarket sebelah kan?”
“Yuk
naik.”
“Bentar,
handicampnya tak masukin kedalem dulu.” Jawabku dengan kusambung lari kecil.
Malam
itu aku meminta Deril untuk mengantaranku ke supermarket. Emang deket dari
rumah, tapi sejalur pulang dengan Deril.
“Deril
langsung pulang aja, nanti Vea pulangnya jalan.”
“Yakin?
Vea gatakut?”
“Cuma sebelahan
2 rumah dari sini Der. Ngga ah ngga takut, udah kamu pulang aja. Hati-hati ya.”
Jawabku sambil tersenyum padanya.
“Kamu
pulang juga hati-hati. Jangan nangis ya. Aku sayang kamu.” Selintas dia
menjawab dilalui dengan mengecup keningku.
Berbeda,
aku ingin menangis melihat Deril membelokkan motornya, melihat Deril memakai
helmnya, melihat Deril membalikkan badannya sambil tersenyum padaku. Manis, dan
pada akhirnya aku terkejut saat aku ingin membuka pintu supermarket terdengar
suara decitan rem, suara teriakan laki-laki yang sering aku dengar. Aku
membalikkan badanku, dan aku beralari. Tangisanku meluap, aku menjerit meminta
tolong entah aku tak tau siapapun yang ada ditempat itu tolonglah aku. Dan pada
akhirnya suatu laki-laki paruh baya menolongku, menggendong Deril ketepi jalan.
Jika
aku ceritakan, aku tak kuasa jika aku harus mengingat dimana dia memulai
mengegas motornya. Dan dia tertabrak oleh truk yang jika aku ingat berwarna
kuning. Truk itu melanjutkan perjalanannya tanpa bertanggung jawab untuk
kekasihku. Dia terpental jauh, darah dari kepalanya bercucuran ditanganku.
Aku
tetap menangis melihat Deril tertidur dipangkuanku dengan polesan darah
sebanyak itu. Sampai pada akhirnya ambulance datang, mobil ini mengantarkan
Deril kesuatu Rumas Sakit dan aku segera mengabari keluarga Deril. Aku tak tau,
mengapa Tuhan memberikan ini pada Deril? Aku hanya duduk tak manis lagi diruang
tunggu. Aku bersebelahan dengan Reza, sahabat Deril.
“Udah
dong Ve jangan nangis, berdoa aja biar Deril ngga kenapa-kenapa.” Kata Reza
Aku
tetap menangis, walaupun Reza tak tau dalam hatiku meminta tolong dan berdoa
pada Tuhan supaya dokter keluar dan tersenyum padaku. Dan jangan Tuhan
mengambil Deril dari pelukanku.
Tak
lama kemudian dokter cantik keluar dari kamar Deril, tak ada senyuman untukku
dan Reza.
“Keluarganya
Deril?” tanya dokter itu
“Saya
kekasihnya dan ini tamannya, keluarganya belum datang. Deril gimana dok? Saya
boleh masuk kan?” tanyaku
“Tuhan
menakdirkan ini semua, kamu yang sabar ya. Deril telah dipanggil.” Jawab dokter
smbil mengelus pundakku.
Tangisku,
tangisanku telah membendung. Bocor sangat deras. Reza memelukku, dan aku
membasahi sweater Reza dengan tangisanku.
“Ve
sabar ve.”
“Za,
Deril za.”
“Iya
aku tau, tapi mau gimana lagi kalau Tuhan uda nakdirin gini?”
“Kenapa
ngga waktu pas sama aku aja? Kenapa harus Deril uda nganterin aku? Kenapa harus
ada pihak ketiga yang bikin Deril meninggal? Seharusnya ngga ada sopir truk itu
dalam hubunganku sama Deril, ato ngga seharusnya truk itu dateng pas Deril
boncengin aku Za.” Tangisku yang semakin mengeras.
“Ve,
ini uda takdir.”
“Aku
tau ini takdir. Jika takdir menemukanku dengan Deril, jika takdir menyatukan
aku dengan Deril, kenapa takdir ngga nyamain aku meninggal bareng Deril? Ini
egois Za, takdir egois.”
“Yang
egois itu kamu, semuanya ngga ada yang seneng terus. Ini cobaan Ve. Ini yang
terbaik buat kamu. Jangan salain takdir, jalannya emang gini.”
“Jalannya
itu Deril sama aku, bukan Deril jalan sendiri dan aku jalan sendiri dialam yang
berbeda. Zaaaaaa, ini ngga adil.” Tangisku yang masih belum sanggup untuk
menerima semua ini, aku membuka ruangan Deril, aku melihatnya berbaring indah
ditempat tidurnya. Diikuti Reza dibelakangku.
“Ve,
udah. Deril biar tenang, kamu ikhlasin dia.” Ujar Reza yang masih menguatkanku.
Aku
hanya duduk dikursi sebelah tempat tidur Deril sambil menggenggam tangan
kanannya yg telah dingin itu, melihat pucat wajahnya yg bersinar.
“Deril,
makasih buat 3 taunnya. Makasih buat malem ini ya, makasih udah mau sayang
cinta sama aku. Makasih udah mau cinta sama aku selama 3 tahun ini. Vea sayang
Deril, sekarang pun sayang Vea masih buanyak ke Deril. Deril kenapa tadi nggak
hati-hati? Kalo Deril tadi hati-hati ngga mungkin juga Deril berbaring disini.”
Ucapku sambil membendung airmata.
“Ve,
kalo kamu nangis kasihan Derilnya. Ikhlasin aja ya.” Kata Reza sambil mengelus
pundakku.
“Deril,
Vea ikhlas. Bener. Maaf Vea nangis, airmatanya nakal. Dia ngga bisa buat Vea
tahan biar ngga jatuh.” Ucapku lagi sambil mencium tangannya.
“Deril,
titip salam buat Tuhan ya. Bilangin maaf kalo Vea selama 3 tahun ini egois,
manja, kaya anak kecil, sering bikin Deril cemas ya. Dan Deril jangan genit
sama bidadari-bidadari surga. Tunggu Vea kesana, jaga hati. Vea sayang Deril.”
Aku mengecup keningnya dan Reza membawaku keluar.
Aku
lemas serasa ragaku terbang saat keluar dari ruangan sengap itu. Aku terjatuh
pingsan.
Malam
itu, kukira hanya mimpi. Mimpi yang ternyata semua itu bukan hanya sekedar
mimpi. Aku hanya berharap, disaat aku bangun bukan lantunan surat yasin yang
kudengar. Tetapi bunyi ponselku yang berdering tanda telefon dari Deril. Tapi
semua itu benar bukan mimpi, nyata. Nyata Tuhan benar mengambil Deril, nyata
Tuhan memberiku cobaan untuk sendiri disini dan bukan dengan Deril.
***
Sudah,
ceritaku telah usai. Aku tak kuasa jika kamu menyuruhku untuk menceritakan
lagi. Bola-bola kecil telah membanjiri pipiku. Cukup aku bercerita tentang
kekasihku, kekasih beda alamku.
Deril,
kamu tau kenapa sampai sekarang melupakanmu itu sangat susah?
Kamu
tau kenapa aku selalu berharap semua ini hanya mimpi yang tak kunjung usai?
Kamu
tau kenapa aku selalu mengganggapmu ada disetiap langkahku?
Kamu
tau kenapa aku tetap sering berkhayal tentang masa depan kita?
Kamu
tau? Itu semua karna aku bodoh.
Karna
aku masih mencintaimu.
Karna
aku masih menyayangimu.
Dan
karena semua yang kamu berikan, kenangan bersama langkah jenjangmu. Itulah
mengapa aku masih menjadi orang bodoh seperti ini.
Maafkan
aku Deril, semua ini susah. Sulit bagiku untuk tetap tegar disini. Berganjal
jika aku harus menyiapkan dan menjalani hariku sendiri.
Maafkan
aku Tuhan, semua ini sulit. Sulit karena engkau pernah menakdirkanku
bersamanya, sulit karna kau telah membuatku jatuh cinta dan menyayanginya,
sulit disaat semua itu indah dan tanpa seizinku kau mengambilnya.
Maafkan
aku bidadari-bidadari surga, aku tak rela jika engkau mendampinginya disana.
Dia masih milikku dan kapanpun tetap menjadi milikku.
Tak
lebihnya aku hanya ingin tetap bersamamu. Kapanpun itu dan dimanapun itu.
Meskipun Tuhan telah memberikan penggantimu, meskipun hati ini kelak menjadi
milik seseorang kiriman Tuhan. Tetapi kamu harus tau satu hal. Namamu. Iya
namamu, itu masih terukir indah disini. Dihatiku.
Jaga
dia, lindungi dia, jangan kau sakiti dia Tuhan. Aku mohon padamu. Aku hanya
makhlukmu yang bisa memohon ini padamu, selebihnya aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Sayangi dia melebihi aku menyayanginya.
Terimakasih
untuk tanggal 11 selama 36 kali Deril. Terimakasih kau telah mempertemukan dan
memisahkan kami Tuhan. Aku menyayangi kalian. Vea.----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
About The Author :
Riski Nanda Larasati
Sebelas Kesteriliun Kita
Reviewed by Dani
on
21:07:00
Rating: