Top Ad unit 728 × 90

News Ticker

recent

Sebelas Kesteriliun Kita

“Ambillah dia jika engkau menginginkannya, Tuhan. Simpan dia disurga bersama bidadari-bidadarimu. Beri dia tempat yang nyaman untuk dapat melihat aktivitasku diduniamu. Biarkan dia duduk manis disampingmu. Jangan pernah halangi dia untuk tersenyum disana. Dan satu lagi, jangan pernah melarangku untuk mengubur kenangan kita meskipun kekasihku telah kau takdirkan untuk dikuburkan.”
 
 
Hari ini cuaca diluar sangat mendukung untukku bertemankan dengan kasur, berpelukan dengan guling. Didalam kamar aku hanya berbaring dengan malas untuk beraktivitas. Gemercik mungil hujan diluar sana mengembang indah didalam telingaku. Sekilas mataku memandang vigura foto yang terpajang besar didinding kamarku. Foto yang sangat indah, manis, kebahagaiaan sangat terlihat diwajah kita dulu. Yah, fotoku bersama kekasihku. Henderobbi Deril Dwi Saputra. Lelaki tampan milikku, lelaki bertubuh jenjang sangkuk dengan dibalut kulit hitam manisnya ditambah lagi rambut keriting hitamnya itu. Jika aku jelaskan wajahnya, terdapat dua kelopak mata yang bulat ditemani dengan bulu mata lentik barbienya dan alis mata hitam tebal yang bikin menggemaskan itu. Hidung mancung mungilnya, mulut jedir seksinya, ohya dan satu lagi yang sangat kusukai. Kumis tipisnya, nah itu yang membuat wajahnya menjadi lebih sempurna.
            Dia sangat lucu. Apalagi jika aku ingat dimana dia harus bersusah payah berjuang demi mendapatkan berrygood camilan isi blueberry itu. Terkadang jika persediaan berrygood dikamarnya telah habis dan toko sebelah rumahnya tutup dia harus ke Supermarket yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Dia harus berjalan ditengah terik matahari dan sampai disana stock berrygood hanya tinggal 4 dan 2 diambil pelanggan yang datang terlebih dahulu. Bahkan dia juga bercerita dia sempat bertengkar dan membayar dua kali lipat untuk mendapatakan 2 berrygood saja.

“Itu hanya camilan Der.” Komentarku dengan berselip tawa saat dia usai bercerita
“Itu nyawaku Ve. Tanpa dia aku bisa mati.” Jelasnya yang sedikit membuatku ingin tertawa
“Berrygood saja? Akunya enggak?” tanyaku
“Tanpa berrygood aku bisa mati dan bisa kembali karena stock berrygood masih banyak didunia ini, tetapi kalau tanpa kamu aku bisa mati dan gamungkin bisa kembali.” Jawabnya
“Kok bisa gitu?” Tanyaku sambil memutar bola mataku.
“Nama Vea didunia ini mungkin buanyak, mungkin wajah yang mirip sama kamu juga banyak, tapi didunia ini nggak ada wanita seperti kamu, dan didunia ini hanya kamu yang aku sayang dan aku cinta. Bukan Vea yang lain.” Jawabnya waktu itu.
Ah Deril, aku teringat padamu lagi. Entah aku tak tau penyakit apa ini, Der. Aku kecanduan bagaikan para pengkonsumsi narkoba itu. Aku terlalu fasih jika orang menyuruhku menjelaskan tentangmu, maafkan aku. Aku tak sengaja. Kamu terlalu berarti, kamu indah untuk dijelaskan. Sampai aku lupa memperkenalkan namaku sendiri.
Perkenalkan namaku Chintyaris Oktavea Dyah Junita. Semua orang yang mengenaliku memanggilku Vea. Tidak afdol jika aku hanya memperkenalkan namaku saja. Aku berusia 18 tahun Oktober besok, aku bersekolah disalah satu SMA swasta di Surabaya, berbeda dengan Deril yang bersekolah di salah satu sekolah negeri di Surabaya. Dan satu lagi, perkenalkan aku adalah kekasihnya Deril sampai kapanpun. Meskipun kita berbeda. Berbeda tempat, Deril di surga dan aku masih menjalani hidup didunia.
Deril, boleh aku bercerita? Aku hanya ingin menuliskan sesuatu disini tentangmu. Bukan bermaksud apa-apa, aku hanya ingin. Tak lebih, aku berjanji J
***
Dari sini, dari kamar bercat hijau tosca ku aku bercerita.
Ohya selamat tanggal 11 yang ke 40 Deril. Sayang kamu meniup lilin disurga bersama malaikat-malaikat yang baik itu dan aku disini sendiri, eh bukan sendiri aku bersama fotomu. Tapi sayang dia tidak bisa meniup lilin, mencium keningku, dan berkata “selamat tanggal 11 yang ke 40 Vea sayang” sepertimu biasanya. Deril, aku belum terbiasa untuk merayakan ini sendiri. Sekali-sekali kamu bisa meminta izin kepada Tuhan untuk datang kekamarku setiap tanggal 11?
            Empat bulan lalu kita hampir bisa merayakan tanggal 11 yang ke 36 kita. Tapi kenapa yang ke 37, 38, 39, 40 dan kedepannya Tuhan tidak mengijinkan kamu menemaniku meniup lilin ini? Tuhan, bisa kau kembalikan Deril untukku? Seharusnya jangan kau ambil dia dengan kecelakaan motor itu sendiri. Mengapa tidak kau ambil saat dia mengendarai bersamaku? Agar aku tak kesepian disini seperti ini, agar aku dapat menemani Deril di surga, dan agar bukan bidadari-bidadari surga yang menemani Deril. Jujur, aku cemburu.
“Ve, tadi udah makan?” tanyanya lewat telefon
“Udah dong, kamu sendiri udah?” tanyaku balik
“Ini lagi makan berrygood hahaha.” Jawabnya saat itu sambil tertawa yang berujungkan dia tersedak
“Hahahaha kamu kesedak Der?” tanyaku sambil tertawa
“Ini cewek ya, pacarnya lagi kayak gini malah diketawain. Buruan kesini kek bawain air putih.”
“Mau naik apa?”
“Aku jemput deh, ntar bawain aku air putih. Tros kita kerumahku, aku minum air putihnya sampai habis dan aku anter kamu pulang lagi. Gimana?” jawabnya dengan konyol.
Yah, itulah Deril. Dia selalu bisa membuatku nyaman jika bersamanya. Dia selalu bisa mengubah semuanya menjadi indah, dia sangat mahir untuk hal itu. Dia bisa menyihir semua keadaan kembali menjadi hangat. Aku tak tau apakah masih ada lelaki seperti dia didunia ini. Aku juga tak tau apakah aku bisa untuk tetap disini sendiri tanpa Deril mendampingi langkahku, menemaniku membuat cerita panjang untuk aku ceritakan kepada turunanku kelak.
Seketika Agnes berhenti untu k bernyanyi, lagunya terhenti dan aku putar kembali. Aku kembali pada lamunan dan ingatanku. Aku teringat dimana Deril mengungkapkan perasaannya padaku, di tanggal 11 April tiga tahun lalu.
Di pagi hari itu, seperti biasa jika hari libur aku tak pernah berniatan untuk bangun lebih pagi. Aku membuka ponselku, tak ada balasan pesan yang kukirim sejak malam tadi dari Deril, dia juga tak mengucapkan selamat pagi yang biasanya terselip dalam ponselku. Aneh, tapi aku hanya berfikir dia sedang disibukkan dengan tugasnya saja. Aku membuka akun twitterku pagi itu. Dan aku langsung terkejut disaat buanyak mention orang-orang yang tak ku kenal dan sebagian kukenal bertempelan dimention akunku.
“Halo Vea. Deril sayang sama kamu, Deril cinta sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarnya? @...”
Banyak, aku tak menghitungnya. Banyak yang berkerubung didalam mentionku untuk mengirimkan mention-mention mungil orang-orang itu. Aku masih tersenyum bahagia dan sedikit bingung saat itu dengan memandang laptop mungilku. Aku tak tau apakah Deril yang mempersiapkan semua itu atau hanya….ah aku tak tau pasti. Aku langsung mengambil ponselku yang masih tergeletak didalam kasurku dan mengetik suatu pesan yang akan kukirimkan untuk Deril. Belum sempat aku mengirimnya, tanda panggilan masuk memenuhi layar ponselku. Deril. Aku mengangkatnya.
“Deril, apa maksutnya sih? Ini kamu yang…”
“Iya, orang-orang itu yang tak suruh buat mention kamu, aku yang nyiapin buat kamu. Bisa buka jendela kamarmu dan liat kebawah Ve?” ucap Deril yang sempat memotong pembicaraanku.
Kubuka jendela kamar, dan aku melihat ada satu orang didalam halaman rumahku. Reza, teman dekat Deril.
“Za, ngapain disitu? Deril mana?” tanyaku. Reza hanya terdiam. Dan tiba-tiba dia berteriak.
“VEA, DERIL SAYANG BANGET NIH SAMA KAMU. MAU NGGAK JADI PACARNYA.”
Dan tiba-tiba ada seseorang laki-laki bertubuh jenjang mirip Deril muncul, dan dia berkata,
“Ve, kenalin aku kakaknya Deril. Deril sayang banget sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarnya?”
Dan sebelum aku ingin menjawab ada lagi satu orang tak kukenal, berbicara sama. Dilanjutkan dengan laki-laki berbicara dan perempuan juga berbicara sama. Sampai halaman rumahku penuh dengan orang yang kukenal hingga tak kukenal. Bahkan tukang becak, pedagang sayur, pedagang siomay pun juga ada. Aku tak tau, aku hanya tersenyum bingung disitu, karena Deril tak ada. Dari dia menyiapkan pengungkapannya ditwitter sampai diteras halaman pun aku tak melihat batang hidung Deril.
“Za, ini perwakilan? Deril gaberani ngomong sendiri?” tanyaku sambil celingukan. Reza hanya tersenyum simpul padaku.
“Kak, Derilnya mana?” tanyaku lagi kepada kakak Deril.
“Sabar dong Ve.” Jawabnya sambil tertawa.
Kedua alisku kukerutkan, sengaja kupertemukan mereka agar ekspresi penasaran keluar dalam raut wajahku. Tiba-tiba aku melihat laki-laki yang sedari tadi aku tunggu, Deril. Tiba-tiba orang yang berkerumun itu membelah sebuah gang ditengah-tengah untuk Deril berjalan. Deril berhenti, dia melihatku. Akupun tersenyum.
“Nungguin aku ya daritadi?” tanyanya
Aku hanya tersenyum melihatnya.
“Ve, aku nggak bakal teriak-teriak kayak Reza. Aku biasa aja yah? Lagi batuk nih hehe.” Dia berhenti untuk berbicara. Lalu, ada seseorang yang memberi bunga pada Deril.
“Makasih mas bunganya.” Ucap Deril pada laki-laki yang aku sendiri tak tau siapa.
“Vea, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, aku nggak tau kalau aku deket sama kamu aku bisa nyaman, aku bisa seneng, aku bisa ngerasain sedih. Sejak deket sama kamu juga aku ngerasa aku udah nggak nakal lagi kayak dulu. Aku nggak tau juga kenapa aku bisa senurut ini sama kamu pas kamu nyuruh aku buat berubah.” Jelasnya.
“Iya beneran Ve, aku saksinya. Deril udah nggak pernah bolos, PR juga dianya selalu ngerjain, udah nggak pernah godain cewek lain. Pokonya udah nutup mata nutup hati buat kamu Ve, serius.” Kata Reza
“Aku juga saksinya Ve. Deril juga jarang bentakin pembantu rumah, jarang nyuruh-nyuruh orang rumah. Bahkan dia uda mau nyuci piring, bangun tanpa dibangunin.” Jelas kakaknya.
“Iya mbak Vea. Mas Deril juga nggak pernah ngutang pas beli siomay saya, utangnya udah dilunasin, malah kelebihan.”
“Dia juga nggak pernah ngejailin saya pas saya duduk dibecak buat nungguin penumpang mbak Ve.”
“Mereka ini, semua orang yang ada disini dulu pernah aku buat kesel. Sebelum kenal kamu, dan semoga mereka bisa bahagia seperti aku bahagia sejak kenal kamu.” Ucap Deril dengan tersenyum malu.
“Ve, kamu. Cuma kamu yang rasanya dihati itu beda, ngerasa pas banget. Aku beneran, nggak gombal. Kamu mau jadi pacarku?” Tanya Deril sambil meletakkan bunga didepan dadanya dengan kedua tangannya.
“Bentar Der.” Aku membalikkan pandangan dan badanku dari jendela, aku berlari kecil untuk menghampiri Deril.
“Ve, kamu mau kan? Maaf ya tadi banyak banget yang mention kamu ditwitter. Aku yang nyuruh mereka. Kamu tau berapa orang? 1149.” Jelasnya
“Eh gila, banyak banget?” jawabku terkejut.
“Hehe, sekarang kan tanggal 11 bulan April tahun 2009, makanya aku ngumpulin segitu. Ini juga emang aku sengajain orang-orang buat ngungkapin juga. Mereka semua tau sapa kamu sebelum mereka bertemu kamu Ve. Kamu orang yang bisa ngerubah aku, kamu orang yang bisa ngebuat aku ngelakuin semua ini. Aku sayang kamu Ve, aku cinta sama kamu, kamu mau nggak jadi pacarku?” tanyanya sambil memegang kedua tanganku.
“Ini mimpi?” tanyaku saat itu.
“Bukan, mimpi lebih indah dari ini.” Jawabnya.
“Kalo aku mau kamu bakal apa?” Tanyaku.
“Aku bakal selalu usaha ngasih kamu kejutan lebih dari ini, supaya hidupmu lebih berwarna lagi karna aku, supaya kamu bahagia, supaya hidupmu berwarna karena tercampur tangan olehku dan bukan orang lain. Aku bakal nyoba dan nyoba terus saat masalah rumit menghampiri kita. Aku bakal selalu usaha buat jadi yang terbaik buat kamu, kapanpun dan dimanapun itu aku bakal berusaha untuk selalu menjadi orang pertama yang ada disampingmu. Bukan orang lain.” Jelasnya.
“Caranya gimana?” Tanyaku lagi.
“Ya dengan cara kamu aku jadi kita. Kamu sama aku bersama. Kamu sama aku selamanya Ve.”
Aku hanya tersenyum.
“Mau?”
“Dengan jaminanmu yang seindah itu, tidak adalah kata bodoh jika aku ucapkan saat ini.” Jawabku.
“Jadi kamu mau?” Tanyanya yang membuatku menganggukkan kepala.
Deril menoleh kebelakang dan menyambut semuanya.
“Kak, aku diterima. Zaa. Bang, semuanya makasih buat bantuannya.” Ucapnya agak keras. Semuanya bersorak dihalaman rumahku. Aku hanya tersenyum, hatiku berbunga-bunga. Tentunya aku bahagia saat itu. Sangat bahagia.
Deril, kamu masih ingat semua ini? Disaat awal hanya aku dan kamu saja menjadi kita. Awal dimana semua jaminanmu menjadi nyata. Tetapi awal selamanya hanya kiasan belaka. Kiasan? Iya kiasan, karena aku tak bisa meggenggam erat tanganmu lagi, karena tak ada yang memelukku lagi, karena semuanya hanya karena kamu dan aku tetap menjadi kita tetapi bukan dengan alam kita, karena semuanya hanya karena kamu telah berinjak di Surga dan aku di dunia fana. Tetapi karena aku mencintaimu dan kamu mencintaiku, kita tetap berjalan bersama, kamu tetap menemaniku melangkah dengan langkah jenjangku, sebab karena jaminan manis indamu.
***
Pagi itu seperti biasa Deril menjemputku dirumah untuk mengantarkanku kesekolah. Pagi itu ada yang berbeda dari raut wajah Deril, wajahnya 100x lipat bertambah tampan. Seperti malaikat surga sih. Seperti biasa, disaat aku ingin mengucapkan kepadanya, dia membungkan bibirku dengan jari telunjuk manisnya.
“Ssssst. Selamat tanggal 11 yang ke 36 Vea sayang. Tanggal 11 nya selalu ada dikalender kita, dan selalu ada dalam perjalanan cinta kita. Seperti biasa, boleh aku meminta izin untuk mencintaimu dan mendalami cintamu lebih dari 3 tahun kita bersama? Jangan bilang tidak, karena memperbanyak cintamu adalah kekuatanku untuk hidup. Hidup untukmu, untuk cinta kita.” Ucapnya yang membuat sayap-sayap cantikku ini keluar dan siap untuk terbang karena terbuai oleh kata-katanya saat itu. Dia memelukku, hangat. Entah pelukannya pada pagi ini sangat berbeda, sangat nyaman. Melebihi nyaman yang senyaman-nyamannya pada biasanya.
“Ini mawar cantik berjumlah 36 untukmu, aku telah menepati janjiku kan? Sekarang tinggal aku menepati janjiku untuk tetap disampingmu sampai tanggal 11 yang keseteriliun.” Katanya sambil mencium keningku.
“Terimakasih, aku tak bisa berkata apa-apa Der.” Seperti biasa jawabanku hanya seperti ini
“Aku tau, aku mengerti kamu tidak mahir untuk mengatakan betapa sayangnya dan betapa cintanya kamu padaku. Tapi kamu mahir untuk membuatku merasakan akan hal itu. Sekarang bukankah kamu senang? Hingga kamu tidak bisa bekata apa-apa.”
Aku hanya bisa tersenyum, ya tersenyum jika aku harus mendengar ucapan indah yang keluar dari Deril 36 bulan ini. Aku tak tau mengapa aku selalu begini.
“Eh iya, kuenya mana?” Tanyaku
“Astaga aku lupa.” Jawabnya dengan menampar jidatnya.
“Yaah, kok lupa sih?”
“Maaf, aku beneran lupa. Ntar malem ajaya? Sekali-sekali kita niup lilinnya malem, cari suasana yang beda gitu. Jangan marah sayaang.” Rayunya sambil mencubit hidungku.
“Ah Deril, iyadeh.” Jawabku dan langsung naik kemotornya.
Siang itu Deril menjemputku lebih cepat, dia mengajakku untuk foto disalah satu studio di Surabaya. Aku ingat Deril sempat bilang.
“Ve, foto ya? Buat kenangan tanggal 11 kita yang ke 36.” Pintanya
“Yah Deril, aku males foto. Buat apaan sih?” jawabku
“Buat kenangan, jadi kalo seumpama tanggal 11 kita yang ke 37 ato yang seterusnya kalo aku gabisa nemenein niup lilin kan kamu bisa ditemenin sama foto kita.” Jawabnya
“Kamu mau aku ngerayain sama fotomu aja? Jangan konyol, foto mana bisa niup lilin sih?” ucapku kesal pada siang itu.
“Udah deh, buat jaga-jaga aja. Kita juga punya foto bareng dikit kan?” yakinnya.
“Ah iyadeh.” Aku terpaksa menyetujuinya.
Siang itu kita hanya kestudio untuk foto, seusai itu Deril mengantarku pulang.
“Deril nggak masuk dulu?” tanyaku seperti biasanya.
“Dirumah sepi?” tanyanya balik.
“Iya”
“Nggak deh aku pulang langsung aja ya sayang? Kamu jangan lupa makan. Liatin foto kita yang barusan deh, aku cakep kan? Vea juga cantik. Pajang dikamar ya? Ntar bagianku juga bakalan tak pajang kok.” Cerocosnya tibatiba.
“Iyadeh, Deril atiati ya. Jangan lupa janjinya.” Ingatku.
“Iyaaa, dada Vea sayang.” Pamitnya sambil mengecup keningku.
***
Deril, aku telah bercerita jauh. Boleh aku lanjutkan?
Malam itu, tepat pukul 10 malam aku masih menunggu Deril didalam kamarku. Aku telah mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi tiada respon. Aku telah mencoba menelfon rumahnya, kata mamanya saat itu Deril telah berangkat dari habis maghrib lalu. Aku mulai panik saat itu. Aku mencoba menelfon semua temannya, mencoba menghubungi untuk mencari informasi dimana Deril berada. Karena mengingkari janji adalah bukan sifat Deril.
Tepat pukul 11 malam disaat aku telah sibuk diri mencari kabar Deril. Tiba-tiba jendela kamarku serasa ada seseorang yang melempari batu beberapa kali. “sialan” gumamku. Beberapa detik terdengar lagi, aku merasa kesal dan aku langsung keluar membuka jendela kamarku.
“Halooooo selamat malam Chintyaris Oktavea Dyah Junita. Selamat tanggal 11 yang ke 36. Aku sayang kamu, aku cinta kamu. Dulu, kemarin, sekarang, besok, lusa, seminggu kedepan, dan seterusnya sampai kapanpun itu aku tetep bakalan sayang cinta sama kamu. Kamu bidadariku. Kamu wanita pemegang hatiku. Kamu dan kamu segalanya Vea sayang. Jangan nangis dulu. Tahan, aku masih mempunyai kejutan lagi.” Teriaknya malam itu. Aku masih mengingat jelas kata-katanya pada malam itu, karna aku sering memutar video yang sengaja dibuatnya itu. Bukan hanya pada malam yg kesebelas saja, setiap aku ingin menatap wajahnya aku selalu memutar video itu.
“Vea sayang, turun dong. Temenin Deril nyanyi dibawah sini. Deril uda nyiapin suara merdu Deril kok, cuma buat Vea.” Katanya sambil membawa gitar. Aku langsung berlari turun kebawah.
“Ve, sapa malem-malem gini teriak-teriak?” tanya mbak saat itu.
“Deril mbak” jawabku sambil berlari.
“Deril makasiiiiiiih. Buruan nyanyinya.” Pintaku.
“Iya, Vea duduk disitu aja ya. Liatin Deril, dengerin suara Deril.”
Seketika Deril memetik gitarnya, kemudian memulai menyanyikan lagu Naff yang Akhirnya Ku Menemukanmu.
Akhirnya ku menemukanmu, saat hati ini mulai meragu
Akhirnya ku menemukanmu, saat raga ini mulai berlabuh
Ku berharap engkaulah. Jawaban segala risau hatiku
Dan biarkan diriku mencintaimu hingga ujung usiaku
Jika nanti kusanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku
Akhirnya ku menemukanmu, saat hati ini mulai meragu
Akhirnya ku menemukanmu, saat raga ini mulai berlabuh
“Aaaaaa Deriil suaranya baguuuus. Lagunyaaaa” teriakku sambil berlari kecil lalu memeluk Deril
“Vea sayang sama Deril, Vea cinta sama Deril. Vea gamau kalo gasama Deril. Makasih buat malam ke11 yang ke 36 ini. Deriiiil jangan tinggalin Vea yaaa. Vea sayang banget sama Deril.” Ungakapku sambil menangis terharu.
“Deril sayang Vea lebih. Lebih dari air yang ada dibumi ini, manusia yang ada dibumi ini. Sayang Deril ke Vea gada batesnya. Cinta Deril ke Vea sama jurang masih dalem cintanya Deril. Gabisa diungkapin. Vea, cuma Vea. Cewek manapun gada yang kayak Vea.” Ungkapnya sambil mengusap airmataku.
“Janji gabakal ninggalin Vea.”
“Deril gabisa janji.” Jawabnya yang membuat hatiku terengah
“Kok gitu?”
“Ve, aku manusia. Ada saatnya Tuhan manggil aku. Ada saatnya dimana Tuhan nakdirin aku gabisa lagi nemenin Vea. Vea bisa kuat dong tanpa Deril? Kan Vea bidadari.”
“Aku gabakal jadi bidadari kalo disebelahku gada kamu.”
“Tapi aku tetep jadi malaikat walaupun aku uda gadisamping Vea lagi. Aku bakalan jadi malaikat yang jaga kamu.”
“Deril mau mati ngomong ginian?”
“Deril ngerasa aja.” Jawabnya yang membuatku menganga.
“Hahahaha engga engga Deril meninggalnya masih nanti. Pas uda buat Vea seneng.” Jawabnya sambil mencubit hidungku.
“Udah ah udah malem. Vea udah seneng kan malem ini?”
“Seneng banget Deriiiil.”
“Haha yaudah, Deril pulang boleh? Dirumah udah ada mbak kan?”
“Yaah pulang. Iya ada embak, tapi dia uda tidur.”
“Yaudah salam buat mbak ya. Kalo mama sama papamu uda pulang salamin juga, Bilangin Deril sayang mereka. Ohya lupa.” Pintanya sambil berjalan menuju handicamp yang dipasangnya daritadi.
“Ini Vea bawa aja. Kado dari Deril. Jaga baik-baik ya. Deril pulang dulu.”
“Deril tunggu.” teriakku pelan.
“Iya Ve?” jawabnya.
“Pulang lewat kiri apa kanan?” tanyaku.
“Kiri.” Jawabnya.
“Vea bareng boleh? Lewat supermarket sebelah kan?”
“Yuk naik.”
“Bentar, handicampnya tak masukin kedalem dulu.” Jawabku dengan kusambung lari kecil.
Malam itu aku meminta Deril untuk mengantaranku ke supermarket. Emang deket dari rumah, tapi sejalur pulang dengan Deril.
“Deril langsung pulang aja, nanti Vea pulangnya jalan.”
“Yakin? Vea gatakut?”
“Cuma sebelahan 2 rumah dari sini Der. Ngga ah ngga takut, udah kamu pulang aja. Hati-hati ya.” Jawabku sambil tersenyum  padanya.
“Kamu pulang juga hati-hati. Jangan nangis ya. Aku sayang kamu.” Selintas dia menjawab dilalui dengan mengecup keningku.
Berbeda, aku ingin menangis melihat Deril membelokkan motornya, melihat Deril memakai helmnya, melihat Deril membalikkan badannya sambil tersenyum padaku. Manis, dan pada akhirnya aku terkejut saat aku ingin membuka pintu supermarket terdengar suara decitan rem, suara teriakan laki-laki yang sering aku dengar. Aku membalikkan badanku, dan aku beralari. Tangisanku meluap, aku menjerit meminta tolong entah aku tak tau siapapun yang ada ditempat itu tolonglah aku. Dan pada akhirnya suatu laki-laki paruh baya menolongku, menggendong Deril ketepi jalan.
Jika aku ceritakan, aku tak kuasa jika aku harus mengingat dimana dia memulai mengegas motornya. Dan dia tertabrak oleh truk yang jika aku ingat berwarna kuning. Truk itu melanjutkan perjalanannya tanpa bertanggung jawab untuk kekasihku. Dia terpental jauh, darah dari kepalanya bercucuran ditanganku.
Aku tetap menangis melihat Deril tertidur dipangkuanku dengan polesan darah sebanyak itu. Sampai pada akhirnya ambulance datang, mobil ini mengantarkan Deril kesuatu Rumas Sakit dan aku segera mengabari keluarga Deril. Aku tak tau, mengapa Tuhan memberikan ini pada Deril? Aku hanya duduk tak manis lagi diruang tunggu. Aku bersebelahan dengan Reza, sahabat Deril.
“Udah dong Ve jangan nangis, berdoa aja biar Deril ngga kenapa-kenapa.” Kata Reza
Aku tetap menangis, walaupun Reza tak tau dalam hatiku meminta tolong dan berdoa pada Tuhan supaya dokter keluar dan tersenyum padaku. Dan jangan Tuhan mengambil Deril dari pelukanku.
Tak lama kemudian dokter cantik keluar dari kamar Deril, tak ada senyuman untukku dan Reza.
“Keluarganya Deril?” tanya dokter itu
“Saya kekasihnya dan ini tamannya, keluarganya belum datang. Deril gimana dok? Saya boleh masuk kan?” tanyaku
“Tuhan menakdirkan ini semua, kamu yang sabar ya. Deril telah dipanggil.” Jawab dokter smbil mengelus pundakku.
Tangisku, tangisanku telah membendung. Bocor sangat deras. Reza memelukku, dan aku membasahi sweater Reza dengan tangisanku.
“Ve sabar ve.”
“Za, Deril za.”
“Iya aku tau, tapi mau gimana lagi kalau Tuhan uda nakdirin gini?”
“Kenapa ngga waktu pas sama aku aja? Kenapa harus Deril uda nganterin aku? Kenapa harus ada pihak ketiga yang bikin Deril meninggal? Seharusnya ngga ada sopir truk itu dalam hubunganku sama Deril, ato ngga seharusnya truk itu dateng pas Deril boncengin aku Za.” Tangisku yang semakin mengeras.
“Ve, ini uda takdir.”
“Aku tau ini takdir. Jika takdir menemukanku dengan Deril, jika takdir menyatukan aku dengan Deril, kenapa takdir ngga nyamain aku meninggal bareng Deril? Ini egois Za, takdir egois.”
“Yang egois itu kamu, semuanya ngga ada yang seneng terus. Ini cobaan Ve. Ini yang terbaik buat kamu. Jangan salain takdir, jalannya emang gini.”
“Jalannya itu Deril sama aku, bukan Deril jalan sendiri dan aku jalan sendiri dialam yang berbeda. Zaaaaaa, ini ngga adil.” Tangisku yang masih belum sanggup untuk menerima semua ini, aku membuka ruangan Deril, aku melihatnya berbaring indah ditempat tidurnya. Diikuti Reza dibelakangku.
“Ve, udah. Deril biar tenang, kamu ikhlasin dia.” Ujar Reza yang masih menguatkanku.
Aku hanya duduk dikursi sebelah tempat tidur Deril sambil menggenggam tangan kanannya yg telah dingin itu, melihat pucat wajahnya yg bersinar.
“Deril, makasih buat 3 taunnya. Makasih buat malem ini ya, makasih udah mau sayang cinta sama aku. Makasih udah mau cinta sama aku selama 3 tahun ini. Vea sayang Deril, sekarang pun sayang Vea masih buanyak ke Deril. Deril kenapa tadi nggak hati-hati? Kalo Deril tadi hati-hati ngga mungkin juga Deril berbaring disini.” Ucapku sambil membendung airmata.
“Ve, kalo kamu nangis kasihan Derilnya. Ikhlasin aja ya.” Kata Reza sambil mengelus pundakku.
“Deril, Vea ikhlas. Bener. Maaf Vea nangis, airmatanya nakal. Dia ngga bisa buat Vea tahan biar ngga jatuh.” Ucapku lagi sambil mencium  tangannya.
“Deril, titip salam buat Tuhan ya. Bilangin maaf kalo Vea selama 3 tahun ini egois, manja, kaya anak kecil, sering bikin Deril cemas ya. Dan Deril jangan genit sama bidadari-bidadari surga. Tunggu Vea kesana, jaga hati. Vea sayang Deril.” Aku mengecup keningnya dan Reza membawaku keluar.
Aku lemas serasa ragaku terbang saat keluar dari ruangan sengap itu. Aku terjatuh pingsan.
Malam itu, kukira hanya mimpi. Mimpi yang ternyata semua itu bukan hanya sekedar mimpi. Aku hanya berharap, disaat aku bangun bukan lantunan surat yasin yang kudengar. Tetapi bunyi ponselku yang berdering tanda telefon dari Deril. Tapi semua itu benar bukan mimpi, nyata. Nyata Tuhan benar mengambil Deril, nyata Tuhan memberiku cobaan untuk sendiri disini dan bukan dengan Deril.
***
Sudah, ceritaku telah usai. Aku tak kuasa jika kamu menyuruhku untuk menceritakan lagi. Bola-bola kecil telah membanjiri pipiku. Cukup aku bercerita tentang kekasihku, kekasih beda alamku.
Deril, kamu tau kenapa sampai sekarang melupakanmu itu sangat susah?
Kamu tau kenapa aku selalu berharap semua ini hanya mimpi yang tak kunjung usai?
Kamu tau kenapa aku selalu mengganggapmu ada disetiap langkahku?
Kamu tau kenapa aku tetap sering berkhayal tentang masa depan kita?
Kamu tau? Itu semua karna aku bodoh.
Karna aku masih mencintaimu.
Karna aku masih menyayangimu.
Dan karena semua yang kamu berikan, kenangan bersama langkah jenjangmu. Itulah mengapa aku masih menjadi orang bodoh seperti ini.
Maafkan aku Deril, semua ini susah. Sulit bagiku untuk tetap tegar disini. Berganjal jika aku harus menyiapkan dan menjalani hariku sendiri.
Maafkan aku Tuhan, semua ini sulit. Sulit karena engkau pernah menakdirkanku bersamanya, sulit karna kau telah membuatku jatuh cinta dan menyayanginya, sulit disaat semua itu indah dan tanpa seizinku kau mengambilnya.
Maafkan aku bidadari-bidadari surga, aku tak rela jika engkau mendampinginya disana. Dia masih milikku dan kapanpun tetap menjadi milikku.
Tak lebihnya aku hanya ingin tetap bersamamu. Kapanpun itu dan dimanapun itu. Meskipun Tuhan telah memberikan penggantimu, meskipun hati ini kelak menjadi milik seseorang kiriman Tuhan. Tetapi kamu harus tau satu hal. Namamu. Iya namamu, itu masih terukir indah disini. Dihatiku.
Jaga dia, lindungi dia, jangan kau sakiti dia Tuhan. Aku mohon padamu. Aku hanya makhlukmu yang bisa memohon ini padamu, selebihnya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sayangi dia melebihi aku menyayanginya.
Terimakasih untuk tanggal 11 selama 36 kali Deril. Terimakasih kau telah mempertemukan dan memisahkan kami Tuhan. Aku menyayangi kalian. Vea.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

About The Author :

Riski Nanda Larasati

Sebelas Kesteriliun Kita Reviewed by Dani on 21:07:00 Rating: 5
All Rights Reserved by Ramdhani alqadri © 2014 - 2015
Designed by Themes24x7

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.